Komite Pemantau Legislatif (Kopel) bersama jaringannya di semua Indonesia akan buka posko aduan pengatasan Covid-19. Posko itu akan memuat keluh kesah warga berkenaan peraturan pemerintahan pusat atau pemda yang diperhitungkan menyelimpang dari ketetapan perundang-undangan.
Posko aduan ada di beberapa wilayah, yaitu Kota Jayapura di Papua, Kabupaten Ende di NTT, Jabodetabek, dan Kota Makassar, Kabupaten Bulukumba dan Kabupaten Sinjai di Sulawesi Selatan. Lewat cara online, posko aduan akan dibuka di saluran aduan melalui alamat e-mail melapor.bujetcovid@gmail.com.
“Warga dapat memberikan laporan tiap peraturan dan perlakuan pemerintahan pusat dan pemda berkaitan dengan pengatasan Covid-19 yang menyalahi ketetapan. Terhitung didalamnya peraturan yang dengan menyengaja manfaatkan wabah Covid-19 ini untuk memperoleh keuntungan individu,” tutur Direktur Kopel Indonesia, Anwar Razak dalam pertemuan jurnalis, Rabu, 3 November 2021.
Menurut Anwar, Posko ini dibuka sebagai tindak lanjut keputusan Mahkamah Konstitusi yang merestui beberapa tuntutan materil pemohon permintaan tes materi atas Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2020 mengenai Penentuan Ketentuan Pemerintahan Alternatif Undang-Undang atau Perpu Covid-19.
Tes materi yang diwujudkan pada Keputusan Nomor 37/PUU-XVIII/2020 ini berkenaan Pasal 27 ayat (1) dan (3) itu disodorkan oleh Yayasan Pengokohan Keterlibatan, Ide, dan Kerja sama Warga Indonesia (YAPPIKA).
Pasal 27 ayat (1) mengatakan ongkos yang sudah dikeluarkan pemerintahan dan/atau instansi anggota Komite Kestabilan Mekanisme Keuangan (KSSK) dalam rencana penerapan peraturan penghasilan negara sebagai sisi dari ongkos ekonomi untuk pengamanan ekonomi dari kritis dan bukan rugi negara.
Dalam amar keputusannya, Mahkamah Konstitusi mengatakan jika Pasal 27 ayat (1) berlawanan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kemampuan hukum mengikat secara bersyarat.
Adapun Pasal 27 ayat (3) mengeluarkan bunyi: Semua perlakuan terhitung keputusan yang diambil berdasar Ketentuan Pemerintahan Alternatif Undang-undang ini bukan object tuntutan yang bisa disodorkan ke peradilan tata usaha negara. Hakim konstitusi mengatakan Pasal 27 ayat (3) berlawanan dengan UUD 1945.
Atas keputusan itu, tutur Anwar, karena itu pelaksana negara baik di pusat dan di wilayah dalam tangani Covid-19 tak lagi kebal terhadap hukum. Semua pengeluaran negara/wilayah harus sesuai ketentuan perundang-undangan dan perlakuan yang menyelimpang bisa digugat ke peradilan.
“Dengan keluarnya keputusan MK ini, karena itu peraturan pemerintahan dan pemda yang menyelimpang dari ketetapan UU tak lagi dapat berkelit dan benarkan peraturannya dengan alasan wabah Covid-19, semuanya wajib sesuai ketetapan perundang-undangan yang ada,” tutur Anwar.
Kopel mengharap pemerintahan pusat dan pemda memerhatikan segi transparan dan responsibilitas pemakaian bujet untuk kebutuhan pengatasan Covid-19. “Banyak berbelanja pemda mengatasdirikan Covid-19, tetapi sebenarnya tidak. Pada akhirnya konsep efektivitas bujet tidak ada, justru yang terjadi ialah pemborosan bujet. Kita mengharap ini tak lagi terjadi,” katanya.